Selasa, Maret 01, 2016

Clueless Review: "Shimoseka" sebagai Sebuah Gerakan 'Anti-Pemerintah'

Terima kasih bagi para pembaca blog ini yang mungkin tidak memiliki kegiatan yang jelas dan malah justru mengunjungi blog saya ini. Kali ini saya akan memulai rubrik yang kedepannya akan terus muncul di dalam blog ini yaitu, Clueless Review. Mungkin untuk teman-teman yang suka menyaksikan Late-Night Show Amerika, CONAN, yang dipandu oleh Conan O'Brien akan tidak asing dengan kata "Clueless". Ya! Saya mengadaptasi dari salah satu rubrik di acara tersebut yaitu "Clueless Gamer" dimana O'Brien yang sama sekali tidak mengerti akan dunia game "dipaksa" me-review, game-game terbaru yang keluar di pasaran. Ini tidak berarti saya "terpaksa" melakukan review ini tapi saya menitikberatkan pada kata "Clueless". Ya! Saya merasa tidak memiliki pengetahuan apapun untuk mengulas apapun yang saya ulas. Tapi saya akan mencoba, dan semoga teman-teman menyukainya.


Pada akhirnya, selamat membaca!

***



Shimoseka, atau dengan judul aslinya "Shimoneta to Iu Gainen ga Sonzai Shinai Taikutsu na Sekai" (下ネタという概念が存在しない退屈な世界) yang dalam bahasa Indonesia berarti "Shimoneta: Sebuah Dunia yang Membosankan dimana Konsep Lelucon Erotis Tidak Ada", adalah sebuah seri Light Novel karya Hirotaka Akagi, yang kemudian diadaptasi menjadi Anime. Shimoseka ini memiliki latar cerita yang cukup unik dimana Jepang, seperti negara-negara lainnya memiliki kebiasaan lawakan atau lelucon yang menggunakan kata-kata kotor atau erotis sebagai media utamanya, mulai memunculkan sebuah perundang-undangan yang melarang secara keras penggunaan lelucon tersebut. Hingga muncul sebuah alat canggih yang dipasangkan di leher masing-masing warga negaranya sebagai pendeteksi penggunaan kata-kata "terlarang" (seperti チンコ yang berarti penis dan オマンコ yang berarti vagina) tersebut, jika seseorang yang dengan sengaja menyampaikannya maka bersiaplah untuk didatangi pasukan khusus pemberantas kejahatan "moral" yang siap memberangus siapa saja.


16 tahun berlalu, setelah berlakunya perundang-undangan tersebut. Generasi muda Jepang diceritakan bahkan tidak mengerti hal-hal erotis yang tercantum dalam karya seni. Akan tetapi, muncul sebuah organisasi SOX yang dipimpin oleh seorang perempuan bertopeng (sebenarnya ia menggunakan celana dalam sebagai penutup muka), dan dibalik itu tersimpan identitas seorang siswi SMA bernama Ayame Kajou. SOX ini sendiri kemudian dianggap sebagai organisasi teroris, dimana mereka menyebarkan segala hal-hal yang berbau erotis seperti gambar gravure, porno dan lain sebagainya. Lalu, seorang siswa SMA yang sama dengan Kajou dan sudah memiliki reputasi buruk karena ayahnya yang terkenal sebagai teroris moral, bernama Tanukichi Okuma, yang selalu berusaha untuk menghilangkan stigma yang ada pada dirinya dengan bertindak seperti anggota masyarakat lainnya menjadi anggota karena tidak sengaja terlibat dalam sebuah kejadian yang disebabkan SOX.



Premis cerita ini semakin seru dan menggelikan dimana Okuma menyukai Ketua OSIS SMA-nya yang bernama Nishikinomiya Anna yang justru merupakan anak dari salah satu pencetus perundang-undangan moral tersebut. Cerita series ini penuh dengan candaan erotis yang membuat anime ini memiliki rating R+ di Jepang sendiri.

"Perjuangan" yang dilakukan kelompok SOX ini mengingatkan saya akan beberapa gerakan anti-pemerintah yang terjadi dalam sejarah. Kita bisa ambil contoh Revolusi Prancis dimana masyarakat Prancis mulai enggan dengan kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat yang dikeluarkan kerajaan. Revolusi ini berakhir ketika Raja Louis dipasung dan kepalanya diarak beramai-ramai.

Entah kenapa, saya melihat pola ini pada cerita Shimoseka, SOX dan beberapa gerakan "teroris" lainnya mulai enggan dengan ketidakbebasan mereka untuk melantunkan lelucon erotis seperti melantunkan lelucon-lelucon lainnya. Masyarakat Jepang yang digambarkan dalam dunia Shimoseka juga terlihat sangat suram, mereka semakin merasa tenggelam dalam keseharian yang penuh dengan pengulangan dan terkesan gelap. Saya melihat SOX hadir sebagai pewarna keseharian. Mereka menolak otoritas yang mengekang, dan mereka inginkan kebebasan bersuara, termasuk untuk berkata erotis demi mendapatkan rasa geli dan lucu atas apa yang mereka bicarakan.

Juga, saya melihat Shimoseka ini sebagai sebuah kritik Hirotaka Akagi sebagai penulis akan masyarakat dan pemerintahan (di Indonesia sendiri) yang berusaha menutupi kekurangannya dengan hal-hal yang aneh. Atas dasar moralitas yang saya lihat sendiri tidak memiliki alasan yang jelas, pemerintah melarang masyarakat untuk mengakses hal-hal pornografi. Disini saya tidak berusaha untuk melegalkan pornografi, tapi saya menganggap pornografi haruslah tetap hadir sebagai representasi seni masyarakat, entah dari sisi yang serius hingga lelucon sekalipun. Ditambah, dengan adanya pornografi, kita bisa menyaring diri, kita bisa menjaga diri dan paham apa yang bisa dikatakan baik dan tidak. Kita adalah manusia yang mampu berpikir, pada faktanya dalam perjalanan sejarah manusia selalu berusaha memendam nafsu dan emosi, dan bagi saya sendiri emosi dan nafsu harus tetaplah hadir pada diri manusia sebagai penyeimbang. Pada akhirnya, manusia akan selalu berkembang, dan perkembangan manusia bisa hadir dari hal yang banyak orang anggap sebagai "kenegatifan" atau "keburukan", kita bisa berkembang dari segi manapun.

***

Terima kasih telah membaca, mungkin ada yang kurang setuju akan pendapat saya ini. Silahkan kemukakan pendapat anda di kolom komentar yang tersedia. Dan ingat, diskusi hadir sebagai pemecahan masalah, bukan pemecah hubungan. Jadi, gunakan bahasa yang sopan dan jangan munculkan hate speech. Karena saya sendiri selalu berusaha untuk tidak sampaikan hate speech.

Sekali lagi terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar